Keutamaan Adzan, Dan Apakah Disyareatkan Adzan Bagi Orang Yang Shalat Sendiri?

Soal:

Pertama: Mohon dijelaskan beberapa keutamaan adzan berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam

Kedua: Jika Seorang Shalat sendiri karena ada yang menghalanginya dari shalat berjamaah, apakah disyareatkan baginya Adzan dan Iqomah?

Jawab:

Untuk menjawab pertanyaan ini kita nukilkan dua hadits shahih yang disebutkan pembahasan tahrij haditsnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah jilid 1 no 41 dan 42.

(1) Hadits Pertama: Rasulullah Shallallohu’alaihi wasallam bersabda:

يعْجُبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِىْ غَنَمٍ فِى رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ ، يُؤَذَِنُ بِالصَّلاَةِ ، وَيُصَلِّىْ ، فَيَقُالُ اﷲُعَزَّ وَجَلَّ : ,, أَنْظُرُوْاعِلىٰ عَبْدِ ىْ يُؤَذْنُ وَيُقِيْمُ الصَّلاَةَ يَخَفُ مِنِّى ، فَقَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِيْ وَاَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ . ،،

“Robb kalian ta’jub kepada seorang penggembala kambing yang ada di atas bukit. (Karena) ia mengumandangkan adzan (panggilan) untuk shalat. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: Lihatlah hamba-Ku ini. Ia adzan dan iqamat serta mendirikan shalat. Ia takut kepadaku. Karena itu Sungguh Aku mengampuninya dan memasukkannya ke dalam Jannah”[1]

Hadits ini menjelaskan  disyareatkannya adzan bagi orang yang shalat sendirian. Dengan makna inilah Al-Imam An-Nasa’i menterjemahkan hadits tersebut.

Anjuran ini juga terdapat di dalam hadits lain yang berisi pula tentang iqamat. Oleh karena itu tidak sepantasnya kita meremehkan arti keduanya, adzan dan iqamah. Lihatlah apa yang diperoleh penggembala kambing ini berupa ampunan Allah dan Jannah-Nya ketika ia kumpulkan adzan, iqamah, shalat dan rasa takut kepada Allah. Adakah keutamaan yang lebih dari ampunan Allah dan Jannah-Nya?

Adapun Hadits kedua, adalah sabda Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam:

مَنْ اَذَّنَ الثْنَتَى عَشَرَ سَنَةً وَجَبَتَ لَهُ الْجَنَّةُ وَكُتِبَ لَهُ بِتَأْذِيْنِهِ فِى كُلِّ مَرَّةً ستون حسنة ، وَبِاِقَامَةِ ثَلاَثُوْنَ حَسَنَةً .

“Orang yang adzan selama dua belas tahun, maka ia wajib masuk surga. Setiap kali adzan ditulis untuknya enam puluh kebaikan. Dan setiap kali iqamat, ditulis untuknya tiga puluh kebaikan.”[2]

Hadits menghabarkan keutamaan bagi seorang mu’adzin yang menetapi jangka waktu tersebut, dua belas tahun.

Namun harus tetap diingat bahwa untuk memperoleh keutamaan itu tentu saja harus disertai dengan niat yang ikhlas, tidak mengharapkan imbalan, pujian maupun kesombongan, karena adanya beberapa hadits yang menerangkan bahwa Allah hanya akan menerima amal yang ikhals untuk-Nya.

Ada riwayat yang menejelaskan bahwa seorang laki-laki datang menghadap kepada Ibnu Umar seraya berkata: “Saya amat mencitaimu karena Allah.” Kemudian Ibnu Umar menajawab: “Persaksikanlah bahwa aku membencimu karena Allah.” Ia bertanya, “Mengapa begitu?” Ibnu Umar menjawab: “Karena kamu membuat cacad adzanmu dengan mengambil imbalan!”

Namun yang perlu disesalkan adalah bahwa kenyataannya ibadah yang agung ini serta syi’arnya tidak diperhatikan oleh mayoritas ulama. Di beberapa masjid adzan hanya dilakukan sekehendak hati, bahkan kadang-kadang merasa enggan untuk mengumandangkan-nya. Mereka justru memperebutkan kedudukan sebagai imam, bahkan hingga terjadi ketegangan di antara mereka. Hanya kepada Allah-lah kita mengadukan keanehan zaman ini. (Diolah oleh Abu Ismail Muhammad dari Silsilah Ash-Shahihah Syaikh Al-Albani)


[1] Berkata Al-Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Shalatus-Safar , hadits nomor 1203, An-Nasa’I di dalam Al-Adzan (1/108) dan Ibnu Hibban (260) melalui jalur Ibnu Wahab, dari Amer bin Al-Hartis, bahwa Abu Usyayanah meriwayatkannya dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang menuturkan: “Saya mendengar Rasulullah Shallallohu’alaihi wasallam bersabda: (kemudian ia menyebutkan sabda Nabi Shallallohu’alaihi wasallam di atas).”

Saya (Al-Albani) berpendapat: Sanad ini shahih dan perawi-perawinya tsiqah. Abu ‘Usyayanah nama aslinya adalah Hayyi bin Yu’min. Ia seorang yang tsiqah. Kata asy-syadziyyah berarti sebagian puncak gunung yang tampak menjulang.

[2] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (hadits no. 728), Al-Hakim (I/205). Kemudian dari Al-Hakim Al-Baihaqi meriwayatkan (I/344). Juga diriwayatkan oleh Ibnu Addi (I/220), Al-Baghawi di dalam Syarhus-Sunnah (1/58/1-2) dan Adh-Dhiya di dalam Al-Muntaqa min masmu’aatihi Binnarin (1/32). Semuanya dari Abdullah bin Shaleh, ia memberitahukan: “Telah memberitahukan kepada saya Yahya bin Ayyub dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’.” Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari.” Penilaian ini sama dengan penilaian Adz-Dzahabi. Kemudian Al-Mundziri berkata dalam kiabnya (1/111): “Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Hakim. Sebab Abdullah bin Shaleh, penulis Al-Laits, meskipun dikritik, tetapi haditsnya diriwayatkan (diambil) oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih.”

Pernyataan dari Al-Mundziri ini lebih baik daripada persetujuan Adz-Dzahabi yang menilainya shahih secara mutlak. Dan Al-Mundziri juga memasukkannya ke dalam kelompok hadits yang munkar di dalam biografi Abullah bin Shaleh.

Sedang Ibnu Addi mengomentari hadits itu: “Saya tidak melihat orang yang meriwayatkannya dengan sanad ini dari Ibnu Wahab (mungkin yang dimaksudkannya adalah Ibnu Ayyub), kecuali Abu Shaleh, dan menurut saya hadits ini bisa diterima kecuali bila di dalam sanad dan matannya terdapat kesalahan, walaupun kesalahan itu tidak disengaja.”

Al-Baghawi juga mengomentari: “Abdullah bin Shaleh, penulis Al-Laits, sebenarnya seroang yang shuduq (bisa dipercaya), kalau saja di dalam haditsnya tidak mengandung penilaian munkar.”

Oleh karena itu Al-Bushairi di dalam Az-Zawa’id (nomor: 2/48) mengungkapkan: “Sanad hadits ini dha’if karena ke-dha’if-an Abdullah bin Shaleh.”

Hadits ini juga memiliki illat lain, yaitu keterlibatan Ibnu Juraij dalam periwayatannya (ia dikenal pembohong atau mudallis). Karena itu Al-Baihaqi segera berkomentar: “Hadits ini diriwayatkan oleh Yahya bin Al-Mutawakkil, dari Ibnu Juraij, dari orang yang meriwayatkannya kepadanya, dari Nafi’”. Imam Bukhari berkata: “Dan hadits ini hanya sebagai musyabih (yang menyamai).”

Saya berpendapat: Sanad ini jelas tidak bisa dijadikan hujjah, akan tetapi Imam Hakim menyebutkan syahidnya (hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain tetapi maknanya sama dari jalur Ibnu Wahab yang berkata: “Telah meriwayatkan kepada saya, dari Abdillah bin Abu Ja’far dari Nafi’”.

Sanad ini shahih dan perawi-perawinya tsiqah. Ibnu Luahi’ah, meskipun ada yang mengkritiknya dari segi hafalannya, tetap shahih. Kritik itu hanya berlaku pada selain jalur ‘Abadillah (tiga Abdullah), maka tetap dianggap shahih. Yang dimaksud dengan ‘Abadillah adalah: Ibnul Mubarak, Ibnu Wahab dan Al-Muqri.

Karena itu, hadits ini bisa dinilai shahih, sebab Ibnu Wahab termasuk di dalam ‘Abadillah.

Posted on April 19, 2012, in Fiqh - Tanya Jawab Fiqh. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar