Mengenal beberapa Hadits Lemah dan Palsu Dalam Fadha`il (keutamaan) Al-Qu’ran

Abu Ismail Muhammad Rijal
 Diriwayatkan dari Ubaiy bin Ka’ab t Rasulullah r bersabda:

(يَا أُبَيُّ مَنْ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ أُعْطِيَ مِنَ الأَجْرِ كَأَنَّمَا قَرَأَ ثُلُثَي القُرْآنِ وَأُعْطِيَ مِنَ الأجْرِ كَأَنَّمَا تَصَدَّقَ عَلَى كُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ، وَمَنْ قَرَأَ آلَ عِمْرَانَ أُعْطِيَ بِكُلِّ آيَةٍ مِنْهَا أَمَانًا عَلَى جِسْرِ جَهَنَّمَ، وَمَنْ قَرَأَ سُورَةَ النِّسَاءِ أُعْطِيَ مِنَ الأَجْرِ كَأَنَّمَا تَصَدَّقَ عَلَى كُلِّ مَنْ وَرَثَ مِيرَاثًا، وَمَنْ قَرَأَ الْمَائِدَةَ أُعْطِيَ عَشَرَ حَسَنَاتٍ وَمُحِيَ عَنْهُ عَشَرَ سَيِّئَاتٍ وَرُفِعَ لَهُ عَشَرَ دَرَجَاتٍ بِعَدَدِ كُلِّ يَهُودِيٍّ وَنَصْرَانِيٍّ وَتَنَفُّسٍ فِي الدُّنْيَا، وَمَنْ قَرَأَ الأَنْعَامَ صَلَّى عَلَيهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، وَمَنْ قَرَأَ الأَعْرَافَ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ إِبْلِيْسَ حِجَاباً، وَمَنْ قَرَأَ الأَنْفَالَ أَكُونُ لَهُ شَفِيعًا وَشَاهِدًا وَبَرِيء مِنَ النِّفَاقِ، وَمَنْ قَرَأَ يُونُسَ أُعْطِيَ مِنَ الأَجْرِ عَشَرَ حَسَنَاتٍ بِعَدَدِ مَنْ كَذَّبَ بِيُونُسَ وَ صَدَّقَ بِهِ وَ بِعَدَدِ مَنْ غَرِقَ مَعَ فِرْعَوْنَ …)

(Wahai Ubaiy, barang siapa membaca Al-Fatihah ia diberi pahala seperti seorang membaca dua pertiga Al-Qur’an, dan akan diberi pahala seperti bersedekah kepada setiap orang mukmin dan mukminah. Barangsiapa membaca surat Ali ‘Imran maka dari tiap ayatnya ia akan mendapatkan keamanan (saat melalui) jembatan jahanam.  Barang siapa membaca surat An-Nisa` maka ia akan diberi pahala seperti halnya sedekah kepada semua orang yang memperoleh harta warisan. Barangsiapa membaca surat Al-Maidah maka ia akan diberi pahala sepuluh kebaikan, dileburkan darinya sepuluh kejelekan dan diangkat martabatnya sepuluh derajat setara dengan jumlah semua orang Yahudi dan Nasrani, dan nafas di dunia. Barang siapa membaca Al-An’am maka 70 ribu malaikat akan bershalawat atasnya. Barangsiapa membaca surat Al-A’raf, Allah I akan menjadikan penghalang antara dia dan iblis, dan barangsiapa membaca surat Al-Anfal aku akan memberi syafaat untuknya dan menjadi saksi baginya dan dia terbebas dari kemunafikan, dan barangsiapa membaca surat Yunus  akan diberi pahala sepuluh kebaikan yang setara dengan jumlah orang yang mendustakan Nabi Yunus dan yang membenarkannya, dan sebanyak orang-orang yang tenggelam bersama Fir’aun,…)

 

Pembahasan Derajat  Hadits

Demikian potongan hadits yang disandarkan kepada sahabat Ubaiy bin Ka’b t.  Dikeluarkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi[1] rahimahullah dalam kitabnya Al-Maudhu’at (1/239-241) melalui dua jalan. Jalan pertama terdapat perawi bernama Badi’, dan pada jalan kedua ada perawi bernama Makhlad.

Dua jalan ini berporos (bertemu) pada ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dan Atha’ bin Abi Maimunah. Keduanya meriwayatkan dari Zirr bin Hubaisy dari Ubaiy bin Ka’b t dari Rasulullah r.

Pembaca rahimakumullah, Hadits Ubaiy t memang menarik perhatian. Mata sebagian manusia berbinar dengan pahala yang dijanjikan, hati sebagian mereka pun berbunga dengan fadha`il (keutamaan-keutamaan) Al-Quran yang disebut rinci dari Al-Fatihah hingga An-Naas. Namun ternyata hadits di atas tergolong hadits-hadits maudhu’ (palsu), didustakan atas Rasulullah r.  

Setidaknya ada dua sisi menonjol yang menyimpulkan kepalsuan hadits ini yaitu kelemahan sanad, dan kelemahan bahasa serta makna, yang menunjukkan bahwa hadits ini mustahil terucap dari lisan Rasulullah r.

Adapun kelemahan sanad, maka ada tiga perawi yang diperbincangkan dalam hadits.

Pertama Badi’, dia adalah Badi’ bin Hibban Abul Khalil.

Al-Imam Ad-Daruquthni rahimahullah berkata tentangnya: “Wa Huwa Matruk” (Dan dia seorang yang ditinggalkan).[2]

Rawi kedua Makhlad, dia adalah Makhlad bin ‘Abdul Wahid Abul Hudzail Al ‘Anbari Al-Bashri.

Berkata Ibnu Hibban rahimahullah: “Munkarul Hadits Jiddan Yanfaridu bi manakir laa tusybihu haditsa Ats-Tsiqat.” (Haditsnya sangat munkar, ia bersendiri dalam periwayatan hadits-hadits munkar yang sedikitpun tidak ada kemiripan dengan haditsnya orang-orang yang terpercaya.)[3] 

Adapun rawi ketiga yang diperbincangkan adalah ‘Ali bin Jud’an. Dia seorang yang Dha’if (lemah) [4]

Adapun tinjauan kedua, terlihat bahwasannya susunan bahasa dan maknanya amat lemah, tampak bagi ulama ahlul hadits bahwa hadits tersebut bukanlah dari sabda Rasulullah r yang Allah I beri anugerah kefashihan dan jawami’ul kalim.

Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah: Dan kandungan hadits ini nyata menunjukkan kepalsuannya. Di dalamnya dirinci penyebutan surat-surat dan disebutkan pada masing-masingnya pahala yang disesuaikan untuk tiap surat dengan bahasa yang tak berbobot dan sangat hambar, tidak mungkin berasal dari kalam Rasulullah r” (Al-Maudhu’at (1/240)) [5]

Dari tinjauan tersebut –Allahu a’lam- ulama ahlul hadits seperti Abdullah bin Al-Mubarak, Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah menggolongkannya sebagai hadits maudhu’ (palsu). Bahkan Syaikhul Islam mengisyaratkan adanya kesepakatan ahli ilmu atas kepalsuannya.

Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah: “Hadits ini, tentang fadhilah-fadhilah surat-surat (Al-Qur’an) adalah hadits palsu, tanpa keraguan ….. (Al-Maudhu’at (1/240))

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: … hadits ini maudhu’ (palsu) dengan kesepakatan  ahlul ilmu.  (Majmu’ Fatawa (13/354))

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Hadits-hadits yang menyebutkan fadhilah dan pahala bagi orang yang membaca surat-surat tertentu, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, sebagaimana disebutkan oleh Ats-Tsa’labi dan Al-Wahidi pada awal tiap surat, atau Az-Zamakhsyari di akhir tafsir tiap surat, maka berkata Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah:

أَظُنُّ الزَّنَادِقَةَ وَضَعُوهَا

“Aku yakin, orang-orang zindiqlah yang memalsukannya.” (Al-Manarul Munif Fi Ash-Shahih Wadh-Dha’if  hal. 113).

Demikian hukum ulama ahlul hadits yang diberikan kepada riwayat Ubaiy bin Ka’b, semoga Allah rahmati dan balas pembelaan mereka terhadap sunnah Rasulullah dengan pahala-Nya yang berlipat.

 

Sebab Pemalsuan Hadits Ubaiy bin Ka’b t

Pembaca rahimakumullah, hadits-hadits maudhu’ (palsu) tidak begitu saja bermunculan tanpa ada sebab dan latar belakang. Para pemalsu hadits sangatlah banyak. Mereka berasal dari berbagai macam kelompok dan kalangan. Pemalsuan mereka pun dilatarbelakangi dengan motif serta tujuan yang beragam.

Lalu apakah gerangan pendorong dipalsukannya hadits Ubaiy bin Ka’ab t tentang keutamaan surat-surat dalam Al-Quran dan juga hadits-hadits semisal tentang fadha`il amal? Kita simak penuturan Ibnul Jauzi rahimahullah.

Seusai menyebutkan hadits Ubaiy bin Ka’b t, Ibnul Jauzi menyertakan sebuah riwayat dari sanad (jalan) beliau mengenai sebab dan siapa sebenarnya otak pemalsuan hadits Ubaiy bin Ka’b t. Berkata Ibnul Jauzi: “…. Dari Mahmud bin Ghailan[6] dia berkata: Aku mendengar Muammal[7] berkata: Seorang syaikh menyampaikan padaku (hadits) fadha`il surat-surat Al-Quran yang diriwayatkan dari Ubaiy bin Ka’b t, maka aku bertanya padanya: “Siapa yang menyampaikan padamu?” Dia berkata: Seorang syaikh di negeri Mada`in, dia masih hidup. (Berkata Muammal) Aku pun pergi kepadanya dan bertanya: “Siapa yang menyampaikan padamu?” Dia menjawab: Seorang syaikh di negeri Wasith dan dia masih hidup. Maka aku pergi kepadanya dan aku bertanya: “Siapa yang menyampaikan padamu?” Dia menjawab: Seorang syaikh di negeri Bashrah. Maka aku pergi padanya. Dia berkata: Yang menyampaikan padaku adalah seorang syaikh dari negeri Ba’adan. Aku pun menjumpai syaikh tersebut. (Ketika aku telah bertemu dengannya di Ba’adan aku tanyakan, siapa yang menyampaikan hadits ini?) Maka diapun meraih tanganku dan membawaku masuk ke dalam sebuah rumah yang ternyata terdapat sejumlah penganut sufi beserta seorang syaikh. Dia berkata: Syaikh inilah yang menyampaikan hadits (Ubaiy bin Ka’b t padaku). Maka Aku (Muammal) bertanya pada syaikh (sufi): Siapa yang menyampaikan hadits ini? Dia berkata: Tidak ada seorang pun menyampaikannya padaku, tetapi karena kami menyaksikan manusia lari dari Al-Qur’an, kami pun membuat (baca: memalsukan) hadits untuk (kebaikan) manusia agar mereka mau kembali pada Al-Qur’an. (Al-Maudhu’at (1/239-241))[8]

Ternyata orang-orang sufilah yang memunculkan hadits-hadits fadha`il, dengan alasan menyimpang, tanpa landasan syar’i. Allahul musta’an.

Berkata Asy-Syaikh ‘Utsman Bin Al-Makki Az-Zubaidi (1330 H): Kebanyakan hadits palsu bermunculan dari kalangan sufi, para ahli ibadah yang bodoh terhadap agamanya. Mereka telah memalsukan hadits-hadits fadha`il (keutamaan-keutamaan) surat-surat Al-Qur’an dengan maksud ingin mendorong (manusia agar gemar membaca Al-Quran). Sungguh, bahaya mereka bagi kaum muslimin lebih berat daripada musuh (orang-orang kafir yang tampak di hadapan mata), terlebih lagi kaum sufi zaman ini. Mereka berdusta atas nama Allah I dengan berkedok pengakuan sebagai para wali-Nya !! Mereka berjelajah di muka bumi dengan menebarkan kerusakan. Mereka tersesat dari hidayah dan berupaya menyesatkan manusia dengan perbuatan mereka ataupun dengan ucapan buruk yang tidak sesuai dengan syariat, demi mendapat kepingan dirham dan dinar dari orang-orang yang bodoh lagi dungu. Mereka tidak ambil peduli bahwa berdusta atas nama Nabi adalah (perbuatan) haram menurut ijma.

Dalam Al-Jami’ As-Shaghir karya As-Suyuthi disebutkan (sabda Rasulullah r:)

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.[9]

Golongan (yang membuat kedustaan atas nama Rasulullah r, mereka) termasuk orang-orang yang menjual akhirat dengan dunianya. Allah I berfirman:

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَوةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ فَلاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنْصَرُوْنَ

Mereka itulah orang-orang yang menjual kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. (Al-Baqarah:86) (Al-Qalaid Al-‘Anbariyah ‘Alal Mandzumatil Baiquniyah hal. 106-107).

 

Kitab-Kitab Tafsir Yang Menyebutkan Hadits Ubaiy bin Ka’b t.

Pembaca rahimakumulah, meskipun hadits Ubaiy bin Ka’b t sangat jelas kepalsuannya, namun ternyata masih terserak pada sebagian kitab-kitab tafsir. Oleh karenanya perlu bagi kita mengenal dan mengetahuinya agar lebih berhati-hati dan tidak tertipu dari penisbatan (penyandaran) hadits palsu kepada Rasulullah r hanya karena disebutkannya hadits-hadits tersebut dalam beberapa kitab tafsir.

Ada tiga kitab tafsir yang banyak menukil hadits Ubaiy bin Ka’ab t yaitu Tafsir Ats-Tsa’labi, Tafsir Al-Wahidi dan Tafsir Az-Zamakhsyari.

Ats-Tsa’labi dan Al-Wahidi menyebutkan hadits Ubaiy bin Ka’ab t di awal setiap surat, dengan memotong-motong hadits. Di awal surat Al-Anfal misalnya, dipilih lafadz :

مَنْ قَرَأَ الأَنْفَالَ أَكُونُ لَهُ شَفِيعًا وَ شَاهِدًا وَ بَرِيءٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa membaca surat Al-Anfal aku akan memberi syafaat untuknya, dan menjadi saksi baginya dan dia bebas dari kenifakan. Demikian seterusnya.

Adapun Az-Zamakhsyari Al-Mu’tazili dalam tafsirnya, Al-Kasy-syaf, menyebutkan hadits Ubaiy t di akhir setiap surat.

Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: Hadits (Ubaiy bin Ka’b t) dipisah-pisahkan oleh Abu Ishaq Ats-Tsa’labi dalam tafsirnya, dia sebutkan pada setiap surat potongan lafadz yang khusus (berkaitan) dengannya. Demikian pula diikuti oleh Abul Hasan Al-Wahidi. Perbuatan keduanya tidaklah mengherankan karena keduanya bukan termasuk ahli hadits. (Al-Maudhu’at (1/240)[10]

Tiga kitab tersebut banyak terdapat kebatilan, dan yang paling parah dari ketiganya adalah tafsir Az-Zamakhsyari. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “….. Adapun Al-Wahidi, dia merupakan murid dari Ats-Tsa’labi. Kelihaiannya dalam ilmu Bahasa Arab mengungguli gurunya ….. Kitab tafsir Ats-Tsa’labi dan tafsir Al-Wahidi yaitu Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz di dalamnya terdapat sejumlah faidah penting, namun bersamaan dengan itu di dalam kitab-kitab tersebut banyak pula sampah-sampah yang berujud nukilan yang batil dan semisalnya.

Adapun Az-Zamakhsyari, maka tafsirnya penuh  dengan kebid’ahan, (ditulis) berdasarkan keyakinan mu’tazilah seperti pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah I, pengingkaran terhadap ru’yah (melihat Allah di hari kiamat), pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalam Allah), mengingkari kehendak Allah I pada makhluk-makhluk-Nya, mengingkari penciptaan Allah I pada perbuatan-perbuatan hamba-Nya dan selainnya dari pokok-pokok mu’tazilah.” (Majmu’ Fatawa (13/ 386)

Demikian keadaan tafsir Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi dan Az-Zamakhsyari terkait dengan penyebutan hadits Ubaiy bin Ka’b dan kebid’ahan yang ada di dalamnya. Wallahu a’lam.

 

Benarkah Meriwayatkan Hadits Maudhu’ dengan Tujuan Targhib Diperbolehkan ?.

Sejenak kita kembali kepada alasan kaum sufi ketika memalsukan hadits-hadits fadhail (keutamaan-keutamaan) surat Al-Quran. Mereka berkata: “Kami membuat (baca:memalsukan) hadits-hadits fadhail demi kebaikan, kami melihat manusia malas membaca Al-Qur’an maka perlu dibuat hadits-hadits berisi keutamaan dan pahala-pahala besar, sebagai targhib (dorongan) bagi mereka agar kembali mencintai Al-Qur’an.”

Sepintas perkataan mereka terasa manis dan indah, tapi ucapan itu adalah bisa yang membinasakan. Kita katakan kepada mereka:

Pertama: Bukankah ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah r yang shahih tentang keutamaan Al-Quran sangatlah banyak? Semuanya mendorong dan membangkitkan kaum muslimin untuk kembali pada kitab Allah. Lalu mengapa kalian justru berpaling dari nas-nas yang shahih menuju kepada kedustaan atas Rasulullah r?

Kedua: Tidakkah kalian tahu bahwa berdusta atas nama Rasulullah r apapun tujuannya termasuk kaba`ir (dosa besar). Berdasar sabda Rasulullah r :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.[11]

Dr. Abdush Shamad bin Bakr mengatakan: Dalam hadits ini terdapat dalil yang terang akan beratnya keharaman berdusta atas Nabi r, dan perbuatan ini termasuk dosa-dosa besar ….. Maka tidak boleh berdusta atas beliau bagaimanapun keadaannya, apapun alasannya, sebab berdusta atas beliau berakibat kerusakan yang sangat besar dan meluas, bahayanya menimpa agama, karena segala yang berkaitan dengan beliau r dijadikan sebagai syariat baik ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan  atau persetujuan-persetujuannya, oleh karena itu telah datang sebuah sabda dari Rasulullah r:

إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذبٍ عَلَى أَحَدٍ

Sesungguhnya dusta atas namaku tidak seperti kedustaan atas seseorang (selain aku)[12] (Al-Wadh’u wal Wadho’un fil Hadits An-Nabawi hal. 15-16)

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Sebagian orang-orang jahil, pemalsu (hadits-hadits fadhail) berkata: Kami berbohong justru dalam rangka membela Nabi r, bukan berbohong untuk mengkhianati beliau. Dia tidak tahu sebenarnya orang yang mengucapkan atas nama Nabi r sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan sungguh dia telah berdusta (mengkhianati) Nabi r, dan orang tersebut berhak diganjar dengan ancaman yang sangat pedih. (Al-Manarul Munif Fi Ash-Shahih Wadh-Dha’if hal.114-115)

 

Di antara Dalil Orang-orang Yang Memalsukan Hadits Rasulullah r.

Para pemalsu hadits atau orang-orang yang sepaham dengan mereka ternyata menampilkan beberapa dalil (baca: syubhat) yang sepertinya memberikan rekomendasi atas perbuatan mereka. Pada majelis kita perhatikan sebuah contoh dari dalil mereka, sebagai nasehat bagi kaum muslimin untuk berhati-hati dari syubhat-syubhat lainnya.

Mereka katakan, kami membuat (baca: memalsukan) hadits-hadits fadhail (keutamaan-keutamaan surat dan amalan) dan meriwayatkannya bukannya tanpa dasar. Kami berpegang pada dalil-dalil yang jelas di antaranya hadits Abu Umamah t, Rasulullah r bersabda :

( مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ بين عيني جهنم ) فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ فَقَالُوْا: يَا رَسُولَ الله إِنَّا نحدث عنك بالحديث فَنَزِيْد و ننقص ، فقال: ليس ذَاكُم إنما أعنِي الذي يَكْذِبُ عَلَيَّ يريد عَيْبِي و شين الإسلام )

Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di depan dua mata jahanam. Sabda ini terasa berat bagi sahabat-sahabat Rasulullah r, merekapun berkata: “Wahai Rasulullah (betapa berat hadits ini) kami biasa menyampaikan hadits darimu dan kami (sengaja) tambah-tambah dan kami kurangi, Maka Rasul r bersabda: (Jangan bersedih) bukan itu yang kumaksudkan. Tetapi yang aku maksudkan adalah (orang) yang berdusta atasku dengan tujuan mencelaku atau mencela islam.

Difahami dari riwayat ini bahwa yang terlarang adalah berdusta atas nabi dengan tujuan mencela Rasulullah r atau islam, adapun orang yang berdusta atas Nabi r tetapi dengan tujuan membela syariatnya atau dengan tujuan membangkitkan umat dari kelalaian, bukanlah hal terlarang, bahkan merupakan amalan mulia. Dan tidak masuk dalam ancaman Rasulullah r.

Subhanallah, demikian syubhat ahlu bathil. Mereka bawakan jerat dan tipu daya syaitan. Akan  tetapi jerat dan tipu dayanya sangatlah lemah. Allah I berfirman:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيْفًا

Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah (An-Nisa: 76)

Perihal hadits ini, kita katakan kepada mereka: Hadits yang kalian jadikan sandaran untuk memalsukan hadits adalah hadits maudhu’ (palsu)[13], dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Al-Fadhl bin ‘Athiyah bin ‘Umar Al-‘Abdi. Berkata Ibnu Hajar tentangnya: “Kadz-dzabuuhu” (Ahlul hadits mendustakannya).[14]

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at memberikan komentar berkenaan riwayat di atas: Hadits ini tidak shahih, karena Muhammad bin Al-Fadhl dihukumi pendusta oleh Yahya bin Ma’in, Al-Fallas dan selain keduanya, berkata Ahmad bin Hanbal rahimahullah: Hadits ini tidak ada nilainya, hadits ini tidaklah dipalsukan melainkan oleh orang yang ada dalam niatnya kedustaan.

 

Beberapa Hadits Dhaif (lemah) dan Maudhu’ (palsu) Tentang Fadhilah Surat

Setiap muslim yang mencintai Rasulullah r, pasti merindukan sabda-sabda beliau sebagai petunjuk dan lentera di tengah kegelapan, atau tetesan embun disaat kehausan. Akan tetapi wajib bagi setiap muslim membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak shahih.

Pada kesempatan ini perlu kiranya kita sertakan beberapa hadits lemah dan palsu yang sering terdengar dari lisan-lisan manusia. Dengan harapan mudah-mudahan menjadi nasehat bagi kita semua. Dan pada kesempatan yang akan datang –dengan memohon pertolongan Allah semata- akan dibahas beberapa hadits shahih berkenaan keutamaan-keutamaan surat atau ayat insyaalah. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita semua. Wallahul Muwafiq.

 

a.Keutamaan Surat Yasin

Diriwayatkan dari Anas bin Malik t, Rasulullah r bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ قَلْباً وَ قَلْبُ الْقُرْآنِ يس وَ مَنْ قَرَأَ يس كَتَبَ اللهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَةَ القُرآن عَشْرَ مَرَّاتٍ

Sungguh segala sesuatu memiliki jantung, dan jantungnya Al-Quran adalah Yasin, barangsiapa membaca Yasin maka Allah I akan mencatat baginya dengan membacanya seperti membaca Al-Quran sepuluh kali.[15]

 

b.Keutamaan Surat Ad-Dukhan

Diriwayatkan dari Abu Hurairah t Rasulullah r bersabda:

مَنْ قَرَأَ حم الدُّخَان فِيْ لَيلةٍ أَصْبَحَ يَسْتَغْفِرُ لَهُ سَبعُونَ أَلَف ملك

Barangsiapa membaca di malam hari surat Ad-dukhon, dipagi harinya tujuhpuluh ribu malaikat akan beristighfar  (memintakan ampun) untuknya.[16]

 

c. Keutamaan Surat Al-Kahfi

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar t Rasulullah r bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الكَهْفِ فِي يَومِ الْجُمْعَةِ سَطِعَ لَهُ نُورٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيءُ لَهُ يَومَ الْقِيَامَةِ وَ غُفِرَ لَهُ مَا بَينَ الْجُمْعَتَينِ

Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi di hari jum’at, akan memancar baginya cahaya dari bawah kakinya menuju puncak-puncak langit menyinarinya pada hari kiamat dan diampuni dosa-dosanya antara dua jum’at.[17]

 

d. Keutamaan Surat Al-Waqi’ah

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud t bahwasannya Rasulullah r bersabda :

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْوَاقِعَة كُلَّ لَيلَة لَمْ تُصِْبهُ فَاقَةٌ أبدًا

Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah setiap malam, tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya.[18]

 

Demikian beberapa hadits dha’if yang Allah mudahkan untuk kita bahas bersama. Ya… ada kesedihan kala kita melihat banyak dari manusia berusaha memudarkan cahaya agama islam dengan mencampur aduk al-haq dan al-bathil. Akan tetapi ada hal yang menyejukkan kita, yaitu kabar gembira bahwa syariat ini tidak pernah akan padam. Allah I lah yang membela dan menyempurnakannya. Allah I berfirman:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَو كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (Ash-Shaff: 6)

Terbongkarnya kepalsuan hadits Ubaiy bin Ka’b t sebagai hadits maudhu’, dan juga hadits-hadits palsu lainnya adalah sekian dari penjagaan Allah I atas syariat islam yang mulia, penutup seluruh syariat. Allah I beri nikmat bagi ummat ini dengan dimunculkannya ulama ahlul hadits  seperti Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Al-Bukhari yang dengan sungguh-sungguh mencurahkan waktunya untuk membela hadits-hadits Rasulullah r.

Berkata Asy-Syaikh ‘Utsman Al-Makky rahimahullah: Ahlul ilmu telah memberikan perhatian (khusus) dengan mengumpulkan hadits-hadits palsu serta menerangkan dengan sejelas-jelasnya, semoga Allah I memberikan balasan kepada mereka dan Allah I tempatkan di jannahnya yang luas.  (Al-Qalaid Al-‘Anbariyah ‘Alal Mandzumatil Baiquniyah hal.106-107)

Allah I bimbing hati-hati mereka hingga mampu membedakan hadits-hadits Rasulullah r yang  shahih yang tampak jelas cahayanya, dan hadits-hadits yang tidak sahih yang demikian tampak kegelapannya. Berkata Ar-Rabi’ bin Khutsaim[19] rahimahullah:

إِنَّ لِلْحَدِيثِ ضَوءًا كَضَوءِ النَّهَارِ يُعْرَفُ، وَ ظُلْمَةً كَظُلْمَةِ اللَّيلِ تُنْكَرُ

Sungguh ! hadits (shahih) itu memiliki cahaya sebagaimana cahaya siang yang dikenal, dan (hadits palsu memiliki) kegelapan sebagaimana gelapnya malam yang diingkari.[20]

Wallahu a’lam, Washallalahu wa sallama ‘ala Rasulullah wa ‘ala Alihi wa shahbihi ajma’in, Wal-hamdulillahi Rabbil ‘alamin



[1] Beliau adalah Jamaludin Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Al-Jauzi meninggal 597 H

[2] Dinukil dari Al-Maudhu’at (1/240) Perawi yang dikatakan matruk hadits-haditsnya sangat lemah, tidak bisa dikuatkan apalagi sebagai penguat

[3] Lihat Al-Majruhin (2/385). Berkata Ibnu Hibban: Dan sungguh Badi’ dan Makhlad telah bersepakat meriwayatkan hadits ini (Ubaiy bin Ka’b t) dari ‘Ali bin Zaid. (Al-Maudhu’at 1/240) 

[4] Dia adalah ‘Ali bin Zaid bin ‘Abdilah bin Zuhair bin ‘Abdilah bin Jud’an At-Taimi Al-Bashri. Jumhur (kebanyakan) ulama Al-Jarh wat-Ta’dil mencacati ‘Ali bin Zaid dengan cacat yang melemahkan haditsnya. Imam Ahmad berkata: “Laisa bi syain.” (Al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal (1/227), Abu Zur’ah berkata: “Laisa bi qawiyyin.” (Dia bukan orang yang kuat.) Al-Jarh Wat-Ta’dil (6/186), Berkata Abu Hatim:  “Laisa bi qawiyyin, Yuktabu haditsuhu wa laa yuhtajju bihi.” (Dia bukan orang yang kuat, ditulis haditsnya namun tidak dijadikan sebagai hujjah) Al-Jarh Wat-Ta’dil (6/186), Berkata An-Nasa’i: “Dha’if.” (Dia lemah) Tahdzibul Kamal  (20/439) , Berkata Al-Juzjani: “Wahil Hadits, Dha’if” (Haditsnya lemah, dan dia lemah) Ahwalur Rijal hal. 185

Berbeda dengan jumhur ulama, Al-Imam At-Tirmidzi dan Al-‘Ijli justru meletakkan ‘Ali bin Zaid pada derajat hasan. Berkata At-Tirmidzi: “Shaduq” (As-Sunan hadits no.2678). Berkata Al-‘Ijli: “La ba`sa bihi” (Tarikh Ats-Tsiqat hal. 346).

Meskipun At-Tirmidzi dan Al-‘Ijli menghasankan, tetapi keduanya menyelisihi jumhur ulama, di samping itu, keduanya termasuk ulama yang mutasahil (bermudah-mudah) dalam menta’dil (menguatkan perawi). Dengan dua alasan inilah maka pendapat jumhur lebih mendekati kebenaran sebagaimana disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib: “Dha’if.” (Dia lemah). Wallahu a’lam.

Kelemahan ‘Ali bin Zaid semata sesungguhnya tidak begitu membahayakan hadits, mengingat ada perawi tsiqah meriwayatkan bersamanya, yaitu Atha’ bin Abi Maimunah. Namun dua jalur yang dibawakan Ibnul Jauzi rahimahullah, kepada ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dan Atha’ bin Abi Maimunah, masing-masing terdapat ‘illat yang menyebabkan jalur-jalur ini menjadi sangat lemah.

[5] Perkataan Ibnul Jauzi: “…dengan bahasa yang tidak berbobot dan sangat hambar adalah sisi kedua yang menunjukkan lemahnya hadits Ubaiy bin Ka’b t. (lihat Maqayis Ibnul Jauzi Fi Naqdi Mutunis Sunnah hal.110 oleh Dr. Musfir Ad-Dumaini hafidzahullah)

[6] Dia adalah Abu Ahmad Mahmud bin Ghailan Al-‘Adawi Al-Marwazi, tsiqah, meninggal 239 H.

[7] Dia adalah Abu Abdirrahman Mu`ammal bin Isma’il Al-Bashri meninggal 206 H. Shaduq Sayyi`ul Hifdzi (At-Taqrib).

[8]Perhatikanlah kesungguhan ahlul hadits dalam memperjuangkan agama Allah dan membela sunnah Rasulullah r dengan cara membersihkan hadits Rasul dari kepalsuan. Seorang dari mereka bersedia berjalan jauh, berkeliling ke berbagai negeri, hanya untuk meneliti kebenaran sebuah hadits. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka dalam jannah-Nya yang penuh kenikmatan.

[9] Hadits Mutawatir, As-Suyuthi menyebutkan hadits ini dari 78 sahabat, dalam kitabnya Qathful Azhar  hal. 23

[10] Lihat juga ucapan Ibnul Qayyim yang dinukilkan sebelum ini dalam Al-Manarul Munif hal.113  .

[11] Lihat catatan kaki no. 9

[12] HR.Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no.1291 dan Muslim dalam Muqaddimah (1/10 no.4)

[13] Dikeluarkan Al-Jauzaqani dalam Al-Abathil Wal Manakir (1/92 no. 87) beliau berkata: “Hadits ini bathil tidak ada asalnya.” Dikeluarkan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Madkhal (hal 96-97) beliau berkata: “Hadits ini bathil.”

[14] Lihat: Taqribut Tahdzib karya Ibnu Hajar. Berkata Al-Juzjani dalam Ahwalur Rijal hal.372 : “Kana Kadzaban.” (Dia adalah tukang dusta)

[15] Diriwayatkan At-Tirmidzi dalam As-Sunan Kitab Fadhailul Qur’an no. 2887. dan Ad-Darimi dalam As-Sunan no. 3417 Dalam sanadnya ada Harun abu Muhammad. berkata At-Tirmidzi: “Syaikhun Majhul.” (Dia Syaikh yang tidak dikenal). Asy-Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini dalam Dha’if At-Tirmidzi sebagai hadits Maudhu’.

[16] Hadits diriwayatkan At-Tirmidzi dalam As-Sunan Kitab Fadhailul Qur’an no. 2888. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (5/411-412) dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (5/1720). Dalam sanadnya ada ‘Umar bin Abdillah bin Abi Khos’am, berkata Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dalam As-Sunan: “Huwa Munkarul Hadits.” (Dia haditsnya munkar). Berkata Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ As-Shaghir wa ziyadatuhu : Maudhu’ (Hadits ini palsu).

[17] Ibnu Katsir melemahkan hadits ini, beliau berkata: “Isnaduhu gharib.” (Tafsir Ibnu Katsir (3/70)). Dalam sanadnya ada Khalid bin Sa’id bin Abi Maryam Al-Madani, Berkata Ibnul Madini tentangnya dalam Al-‘Ilal hal.109: “Laa Na’rifuhu” (Kami tidak mengenalnya) Asy-Syaikh Al-Albani menghukuminya sebagai hadits munkar. (Tamamul Minnah hal 324-325).

[18] Dikeluarkan oleh Al-Baghawi dalam Tafsir-nya (4/320). Dalam sanad hadits ada Abu Thibyah Al-Jurjani, dan Syuja’. Keduanya majhul (tidak dikenal) Berkata Ahmad bin Hambal: “Hadza Haditsun Munkar Wa Syuja’ La a’rifuhu” (Hadits ini Munkar, dan Syuja’ aku tidak mengenalnya).

[19] Tabi’in muhadhram (Seorang yang menjumpai zaman Nabi akan tetapi tidak berjumpa dengan beliau), meninggal tahun 61 H atau 63 H.

[20] Al-Fasawi meriwayatkan dalam Al-Ma’rifah wat-Tarikh (2/564) juga disebutkan Al-Khatib dalam Al-Kifayah Fi ‘ilmir Riwayah  hal 431

Posted on Februari 24, 2012, in Fiqh - Artikel, Syarah Hadits. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar