Shahihkah Hadits Ibnu ‘Abbas Tentang Bolehnya Nyanyian dan Alat Musik?

Abu Ismail Muhammad Rijal

عَنْ ابنِ عباسٍ أنَّ رسولَ الله r خَرَجَ وقَدْ رشَّ حسَّانُ فِناءَ أطمِهِ وأصحابُ رسولِ اللهِ r سِمَاطَين وبينهم جاريةٌ لحسَّانَ يقال لها سيرين  ومعها مِزْهَرٌ لها تغنِّيهم وهي تقول في غِنَائها : ( هل عليَّ وَيْحَكم * إنْ لهوتُ من حَرَجٍ ) فتبسّم رسول الله r  وقال  : (( لا حرج ))

Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas t bahwasanya Rasulullah r keluar ketika Hassan[1] t telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para shahabat radhiyallahu‘anhum duduk dua saf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan t  bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para shahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah r tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”

Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan mengambil kesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian difahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah r memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit t dengan sabda beliau r: “Laa haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit t.

Dalam hadits juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi r kepada para shahabat t yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin,  sehingga difahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwasannya persetujuan Nabi r atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.

Para pembaca rahimakumullah, sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Sahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah r?

 

Tinjauan Sanad Hadits

Ibnu ‘Asakir [2] menyebutkan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas t di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais dari Al-Husain bin ‘Abdillah dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib t.

Hadits ini tidak sah dari Rasulullah r bahkan tergolong hadits-hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) dalam bab Fii Ibaahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil [3].

Kebatilan hadits Ibnu ‘Abbas dapat diketahui dari beberapa tinjauan. Pertama, kelemahan dalam sanadnya. Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Quran. Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah ash-shahihah. Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan shahabat Rasulullah r sebagai generasi terbaik yang sangat menjaga batasan-batasan Allah dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.  Empat tinjauan inilah yang insyaallah akan dibahas pada kesempatan kali ini.

Diawali dari tinjauan sanad hadits, maka kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu: Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais. Adapun perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muthallib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.[4]

Berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat Al-Atsram, “Lahu Asy-ya`u Munkarah,” berkata Yahya bin Ma’in, “Huwa Dha’if,” berkata Abu Zur’ah Ar-Razi, “Laisa bi Qowiyyin,” berkata Abu Hatim Ar-Razi, “Dha’iful hadits,”[5]  berkata An-Nasa`i: “Matruk,”[6] berkata Al-Jauzajani: “Laa Yusytaghal bihadiitsihi,”[7] berkata Ibnu Hibban: “Yuqallibul asaaniid wa yarfa’ul marasil.”[8] berkata Al-Hafidz ibnu Hajar : “Dha’if.”[9].  Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) -setelah menyebutkan hadits di atas- : Adapun Al-Husain maka berkata ‘Ali bin Al-Madini tentangnya: “Taraktu Hadiitsahu.”[10] Berkata An-Nasa`i: “Matrukul Hadiits.” berkata As-Sa’di: “Laa Yusytaghol bi Hadiistihi.”

Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.

Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: Adapun Abu Uwais maka namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Berkata Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) : “Dha’iful Hadits” dan Yahya pernah berkata: “Kaana Yasriqul Hadits” (Al-Maudhu’at  3/116) Berkata Adz-Dzahabi tentang Abu Uwais: “Laisa bi qowiyyin”[11]. Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.

 

Penyelisihan Hadits terhadap Al Quran

Para pembaca rahimakumullah, lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas t bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Quran dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Quran menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik demikian pula sabda-sabda Rasulullah r yang shahih. Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah dalam surat Al-Isra’: 64.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلاَدِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَ غُرُورًا

Artinya: “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (ajakanmu), dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah  mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaiton kepada mereka melainkan tipuan belaka. (QS.Al-Israa’ : 64).

Berkata Mujahid rahimahullah tentang makna  (بِصَوْتِكَ) adalah: perkataan sia-sia dan nyanyian. Demikian Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan perkataan Mujahid dalam tafsirnya.[12]

Dalam ayat lain  Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

Artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Q.S. Luqman : 31)

Berkata Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Nashir As-Sa’di dalam tafsir beliau Taisir Al-Karimir Rahman (6/150): Yang dimaksud dengan -perkataan yang tidak berguna- adalah perkataan-perkataan yang melalaikan hati yang menghalangi hati dari tujuan yang mulia. Maka masuk di dalamnya semua jenis perkataan haram, yang sia-sia dan batil, ucapan-ucapan yang tidak masuk akal dari perkataan yang menjerumuskan kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, (juga) perkataan orang-orang yang menolak kebenaran dan berdebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq, ghibah, namimah (adu domba), dusta, cercaan dan celaan, (termasuk juga) nyanyian, dan alat-alat musik,[13] dan perkara-perkara melalaikan yang tidak ada manfaatnya baik dunia atau agama.

 

As-Sunnah As-Shahihah Bertentangan dengan Hadits Ibnu Abbas t

Adapun hadits Nabi r yang menunjukkan  haramnya musik dan alat musik di antaranya apa yang diriwayatkan dari shahabat Abu Malik Al-Asy’ari t:

قال النَّبِي r : (( لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ))

Artinya: Rasulullah r bersabda: “Sungguh akan ada dari ummatku sekelompok kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini secara mu’allaq dalam Ash-Shahih. Dikeluarkan pula oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya juga yang lainnya dengan sanad shahih.[14]

Hadits yang mulia ini sangat tegas menyatakan haramnya alat musik sebagaimana haramnya zina, khamr, dan sutera (bagi laki-laki). Sekaligus bukti dari sekian banyak bukti kenabian, dimana Rasulullah r mengabarkan perkara yang belum terjadi, kemudian terjadi seperti apa yang beliau kabarkan. Betapa banyak kaum muslimin menghalalkan musik dan alat-alat musik dengan berbagai model dan alirannya. Kenyataan yang menimpa umat ini sangat menyedihkan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketika orang yang menghalalkannya adalah sosok yang mengaku sebagai da’i dan ustadz, kemudian menjual dagangannya dengan menyuguhkan hadits-hadits palsu yang tidak sah dari Rasulullah r. Subhanallah! tidakkah mereka takut dengan ancaman Rasulullah r dalam hadits yang mutawatir:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Artinya: Barangsiapa berdusta atasku hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka. [15]

 

Hadits kedua di antara hadits-hadits yang mengharamkan musik dan alat musik adalah sabda Rasulullah r :

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ صَوْتُ وَيْلٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Artinya: Dua suara yang dilaknat; suara mizmar (seruling) di kala suka dan suara (ratapan) celaka di kala musibah[16].

Berkata Asy-Syaikh Al-Albani: Dalam hadits terdapat pengharaman alat  musik karena mizmar adalah alat (musik) yang ditiup, hadits ini di antara hadits-hadits yang banyak yang membantah pembolehan Ibnu Hazm atas alat-alat musik [17]

Kemuliaan Shahabat Membantah Hadits Ibnu Abbas t

Para pembaca rahimakumullah, bagi seorang muslim yang mengenal kesempurnaan Rasulullah r dan kemuliaan para shahabat beliau radhiyallah ‘anhum akan merasa adanya keanehan dan keganjilan pada hadits Ibnu ‘Abbas t ini. Bagaimana tidak? Hadits tersebut mengandung celaan kepada shahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan kepada Rasulullah r. Inilah sisi keempat yang dengannya kita mengenal kebatilan hadits Ibnu ‘Abbas t, yaitu dengan membandingkan keadaan shahabat Rasulullah r yang sangat berlawanan dengan apa yang ditunjukkan  oleh hadits.

Telah menjadi keyakinan Ahlussunnah wal Jamaa’ah bahwasannya shahabat Rasulullah r adalah generasi terbaik ummat ini sebagaimana Rasulullah r bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ t عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ : (( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ))

Artinya: Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) t Dari Nabi r beliau bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya.”[18]

Berkata Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafidhahullah: Yang wajib diyakini tentang shahabat, bahwasannya mereka adalah umat yang paling mulia dan generasi terbaik, karena mereka adalah pendahulu (dalam kebaikan), memiliki kekhususan menyertai Nabi r, berjihad bersama beliau, mengemban syariat dari beliau kemudian menyampaikannya kepada orang-orang sesudah mereka. Dan sungguh Allah telah memuji mereka dalam kitab-Nya, Allah berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang  mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal di dalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar. (Q.S At-Taubah:100)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud, demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin) Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (Q.S.Al-Fath:29) [19]

Perhatikan sifat-sifat mulia yang Allah berikan kepada shahabat dalam dua ayat di atas. Tidak ada lagi keraguan akan kemuliaan shahabat dan tingginya derajat mereka disisi Allah.

Sejarah islam turut membuktikan bahwa mereka adalah generasi terdepan umat ini, waktu mereka dipenuhi untuk mempelajari ilmu, mengamalkan dan menebarkannya, mereka adalah mujahidin yang senantiasa berlaga di medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Gelapnya malam, mereka lalui dengan bertaubat dan berdiri di hadapan Allah, membaca dan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Demikianlah sejarah berkata bahwa mereka adalah generasi termulia yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling jauh dari perkara yang tidak Allah ridhai.

Adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin bagi shahabat Rasulullah r yang waktu mereka dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah, kemudian mereka membuang waktu dengan perbuatan sia-sia bahkan diharamkan Allah Ta’ala. Sangat mustahil bagi shahabat Rasulullah r yang demikian mulianya, duduk bersaf menyia-nyiakan waktu dengan perkara haram,  memandang wanita, menikmati alunan lagu dan alat musik dari seorang perempuan yang tidak halal ditengah-tengah mereka. Demi Allah hal ini adalah kedustaan yang nyata! Dan lebih tidak mungkin lagi Rasulullah r membiarkan kemungkaran yang tampak di hadapan beliau.

Di akhir pembahasan, sejenak kita buka lembaran kehidupan shahabat radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah r yang penuh dengan kemuliaan, sebuah sejarah yang setiap muslim tidak pernah bosan membacanya.

Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani dalam kitabnya As-Sunan, meriwayatkan sebuah hadits dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah t beliau menceritakan di antara kisah kesungguhan shahabat dalam beribadah dan berjihad fi sabilillah.

عَنْ جَابِرٍ – [ في رواية عند أحمد : فيما يذكر من اجتهاد أصحاب رسول الله  r  في العبادة ] – قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ r يَعْنِي فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَحَلَفَ أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهَرِيقَ دَمًا فِي أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ r فَنَزَلَ النَّبِيُّ r مَنْزِلًا فَقَالَ مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَرَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ كُونَا بِفَمِ الشِّعْبِ قَالَ فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ الْأَنْصَارِيُّ يُصَلِّ وَأَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرِفَ أَنَّهُ رَبِيئَةٌ لِلْقَوْمِ فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ فَلَمَّا عَرِفَ أَنَّهُمْ قَدْ نَذِرُوا بِهِ هَرَبَ وَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا بِالْأَنْصَارِيِّ مِنْ الدَّمِ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ أَلاَ أَنْبَهْتَنِي أَوَّلَ مَا رَمَى قَالَ كُنْتَ فِي سُورَةٍ أَقْرَؤُهَا فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا 

Artinya: Dari Jabir bin ‘Abdillah t [-tentang kesungguhan shahabat Rasulullah r dalam beribadah-] [20]: beliau berkata: Kami keluar bersama Rasulullah r pada perang Dzatur Riqa’, (ketika itu) seorang shahabat membunuh perempuan -istri dari seorang musyrikin-[21], maka dia bersumpah tidak akan berhenti (mengejar) hingga menumpahkan darah pada shahabat Muhammad r. Pergilah dia mengikuti jejak Nabi r. Maka singgahlah Nabi r di suatu tempat, kemudian beliau bersabda: “Siapakah yang akan menjaga kami?” Bangkitlah seorang shahabat dari muhajirin dan seorang dari anshar.[22] Beliau bersabda: “Berjagalah di ujung syi’b (lembah antara dua bukit).” Tatkala keduanya telah pergi menuju ujung lembah di antara dua bukit, tidurlah shahabat muhajir, adapun shahabat anshar dia berdiri shalat. (Disaat itu) datanglah laki-laki musyrik melihat shahabat anshar (dalam keadaan shalat) dan tahu bahwa dia adalah penjaga kaum (maka) dilepaskanlah anak panah hingga mengenai shahabat anshar lalu dicabutnya anak panah ini hingga tiga kali terkena anak panah, kemudian ruku’lah shahabat anshar dan sujud, hingga bangunlah shabatnya (muhajir). Orang musyrik inipun tahu bahwasannya shahabat telah bersiaga maka dia pun lari. Berkatalah muhajir ketika melihat darah pada shahabatnya:: “Subhanallah mengapa engkau tidak bangunkan aku ketika engkau baru dipanah?” Shahabat anshar menjawab: “Aku ketika itu sedang membaca sebuah surat dan aku tidak suka untuk memotongnya”. [23]

Perang Dzatur Riqa’ terjadi pada tahun keempat Hijriah demikian dikatakan Ibnu Hisyam dalam sirahnya. Disebut perang Dzatur Riqa’ karena shahabat Rasulullah r ketika itu banyak yang membalut kaki-kaki mereka yang terluka dalam peperangan, sebagaimana ditunjukkan riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ary t beliau berkata:

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنْ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا

Artinya: “Kami keluar bersama Rasulullah r dalam sebuah peperangan, dan kami enam orang memakai satu onta bergantian dalam mengendarainya. Maka kaki-kaki kami terluka dan terluka juga kakiku hingga lepas kuku-kukunya, dan kami ketika itu membalut kaki-kaki kami dengan kain-kain maka dinamailah perang tersebut dengan perang Dzatur Riqa’ karena apa yang kami lakukan (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain-kain.”[24]

Lihatlah pembaca, rahimakumullah sebagian dari perjuangan yang sangat menakjubkan dari Rasulullah r dan generasi terbaik umat ini.  Berjalan siang malam menempuh sahara dengan segala kesukarannya, mengorbankan jiwa dan raga untuk menegakkan kalimat Laa ilaa ha illallah di muka bumi.

Perhatikan pula bagaimana shahabat anshar tegak berdiri membaca kalam Allah dalam shalatnya di tengah-tengah tugas menjaga Rasulullah r, darah yang mengalirpun tidak lagi dihiraukan untuk tetap merenungi kalam Allah, demikian pula kakinya tetap kokoh berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Maka orang yang mengetahui sejarah, dan sadar akan kedudukan shahabat, dia akan terkejut ketika mendengar hadits Ibnu ‘Abbas yang sangat tidak sesuai dengan kehidupan shahabat radhiyallahu’anhum. Selanjutnya dia akan bertanya: “Shahihkah hadits ini?”  Maka jawabnya: Hadits ini bathil dan didustakan atas Rasulullah r.

Pembaca rahimakumullah, di akhir pembahasan ini kita meminta kepada Allah mudah-mudahan Allah lindungi kita dari kesesatan dan penyimpangan di tengah badai fitnah yang menimpa umat ini. Semoga Allah jadikan hati kita mencintai keimanan, mencintai Rasulullah r dan generasi terbaik ummat ini, dan Allah kumpulkan kita bersama mereka di jannah-Nya yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan  Wallahu a’lam bish-shawab.

و صلى الله على محمد و على آله  و صحبه و سلم  و الحمد لله رب العالمين


[1] Beliau adalah shahabat Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari Al-Khazraji penyair Rasulullah r meninggal tahun 54 H. Lihat Taqrib At-Tahdzib  Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.

[2] Beliau adalah Al-Hafidz Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin ‘Abdillah Asy-Syafi’i, beliau lebih dikenal dengan Ibnu ‘Asakir meninggal tahun 571 H.

[3] Lafadz “Bathil” ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits, semakna dengan lafadz: “Maudhu’ atau “Makdzub” atau “Hadza Min Ifkihi” semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.

[4] Lafadz-lafadz Jarh (pencacatan rawi) sengaja dibiarkan sesuai dengan nas ucapan ulama dan tidak diterjemahkan, mengingat lafadz-lafadz tersebut adalah istilah yang harus difahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, akan tetapi cukup disimpulkan bahwa semua ibarat yang dilontarkan kepada Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) kepada keduanya. Wallahu a’lam.

[5] Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi dan An Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil  (2/ 57 ).

[6] Lihat Ad-Dhu’afa wal Matrukin oleh Imam An Nasa`i (1/33) Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57).

[7] Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal oleh Al-Jauzajani, hal.  240.

[8] Lihat Al-Majruhin oleh Ibnu Hibban Al-Busti (1/242)

[9] Lihat Taqribut Tahdzib oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani

[10] Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57) lihat juga Ad-Dhu’afa` oleh Al-‘Uqaili (1/245)

[11] Mizanul I’tidal oleh Adz-Dzahabi (2/292)

[12] Tafsir At-Thabari (15/118)

[13] Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir beliau (21/61-64)  meriwayatkan beberapa riwayat dari shahabat dan tabiin tentang  makna (لَهْوَ الْحَدِيثِ ) yaitu nyanyian, maka rujuklah kepadanya.

[14] Pendapat Ibnu Hazm tentang dha’ifnya hadits ini adalah pendapat yang tertolak. Untuk menambah keterangan lihat pembahasan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani  rahimahullah dalam risalah beliau Alat At-Thorb (hal.  38).

[15] HR. Al-Bukhari no.108, dari hadits Az-Zubair bin Al-‘Awwam t. Di awal hadits ini disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Az-Zubair t bertanya kepada ayahnya: Aku tidak mendengar engkau banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah r sebagaimana fulan dan fulan menyampaikannya. Kemudian Az-Zubair berkata sebagaimana lafadz hadits di atas.

[16] HR. Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Ar-Ruba’iyat (2/22/1). Lihat pembahasan hadits pada Ash-Shahihah, no.427

[17] Lihat Ash-Shahihah (1/2/790) hal. 791.

[18] HR. Al-Bukhari no.2652

[19]  Kitab At-Tauhid (hal. 122-123) oleh Asy-Syaikh Dr. Shalih  bin Fauzan.

[20] Apa yang ada di antara dua kurung ada dalam riwayat Imam Ahmad. Lihat Musnad Imam Ahmad (3/359 )

[21] Faedah: Pada asalnya perempuan  tidak boleh dibunuh dalam peperangan, kecuali jika dia termasuk pasukan musyrikin yang ikut berperang. Maka tidak ada isykal  dalam hadits ini karena dibunuhnya perempuan musyrik dalam perang Dzatur Riqa’ boleh jadi karena dia masuk  dalam barisan pasukan musyrikin, atau terbunuh tanpa disengaja. Demikian keterangan Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzahullah  ketika mensyarah hadits ini.

[22] Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (1/333) penulis memberikan faedah bahwa imam Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwah menyebutkan nama dua shahabat ini yaitu ‘Ammar bin Yasir dari kalangan muhajirin dan ‘Abbad bin Bisyr dari anshar.

[23] HR. Abu Dawud (No.198)

Di antara faedah hadits Jabir bin ‘Abdillah t yang bisa kita petik: (1) Hadits ini dalil bahwa darah (selain darah haidh dan nifas) tidak najis (2) keluarnya darah dengan sebab luka tidak membatalkan wudhu, sebagaimana  shahabat anshar terus melakukan shalat dalam keadaan darah mengalir (3) menempuh sebab tidak menafikan tawakal, sebagaimana ditunjukkan hadits bahwa Rasulullah r memerintahkan shahabat untuk melakukan penjagaan. (4) Shalat malam tidak disyaratkan harus tidur sebelumnya, sebagaimana shalatnya shahabat anshar ini, juga ditunjukkan oleh hadits wasiat Rasulullah r kepada Abu Hurairah t untuk shalat witir sebelum tidur. Wallahu ta’ala a’lam bishawab.

[24] HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih, kitab Al-Maghazi, Bab Ghozwatu Dzatr Riqa’ (no. 4128) dan Muslim dalam Ash-Shahih, Kitab Al-Jihad was Sair, Bab Ghazwatu Dzatir Riqa’ (no.1816)

Posted on Juli 18, 2012, in Syarah Hadits and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar